Batumbang apam, Antara Munajat dan Harapan

“Batumbang apam merupakan tradisi dan budaya masyarakat Desa Pajukungan yang sarat makna religious untuk mengenalkan masjid sejak dini, karena anak-anak nantinya yang kelak akan mengisi shaf-shaf suci yang mulai kosong seiring zaman”

Penjaga Mesjid Al-Munawarah saat melangkahkan kaki anak kecil pada prosesi batumbang apam (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Oleh: M Ferian Sadikin

“Shallu’alannabi Muhammad”

09.30 Wita, terik mentari menyinari riuh lantunan shalawat bersahutan. Mengiringi langkah kecil menunaikan hajat untuk batumbang apam yang sarat makna.

Dengan iring-iringan tabuhan hadrah, mengantarkan para orang tua yang menggendong anak mereka menuju mesjid di Desa Pajukungan, Kecamatan Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel).

Tepat dua hari setelah umat islam mengumandangkan takbir di hari kemenangan. Masih dalam suasana hari raya Idul Fitri, di HST, masyarakat setempat biasa menggelar budaya dan ritual yang sarat makna religious, yang dikenal dengan istilah Batumbang Apam.

Prosesinya sederhana, dimulai dengan membawa anak kecil usia enam hingga dua tahun ke mesjid. Kemudian, Kaum (penjaga mesjid) menjejakkan kaki kecil sang bayi ke tangga mimbar tempat Khotib berkhotbah. Dari undakan tangga terbawah sampai undakan teratas, diikuti pembacaan Sholawat dan Sallam kepada Nabi Muhammad SAW.

Prosesi itu melambangkan pengharapan orang tua si bayi, agar anaknya kelak senantiasa suka ke mesjid dan hanya datang ke tempat-tempat ibadah. Juga diharapkan, sang anak nantinya bisa menjadi orang yang kuat iman dan pengetahuan agamanya.

Bupati HST, H Aulia Oktafiandi saat berada di tengah masyarakat dalam prosesi batumbang apam (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Dengan shalawat yang terus menggema dan mulut yang tiada henti bermunajat, ada senyum bahagia para orang tua ketika langkah kaki tiba di pintu mesjid dan melihat mimbar, tempat khatib melantunkan kalimat-kalimat tauhid pada ibadah Jum’at ataupun hari besar Islam.

BACA JUGA :  Serahkan Bulldozer ke DLHP HST, Bupati Harapkan Mampu Atasi Persoalan Sampah

Perasaan senang dan bahagia menyelimuti semua orang. Anak-anak kecil berlarian dan bersenda gurau di pelataran masjid, membuat prosesi batumbang apam kian semarak. Sejatinya, anak-anak itulah nantinya yang kelak akan mengisi shaf-shaf suci yang mulai kosong seiring zaman.

Selesai pembacaan do’a, orang tua sang bayi menghamburkan uang receh dan membagikan apam, kue khas Banjar. Uang receh dihamburkan untuk diperebutkan anak-anak yang hadir. Sedang kue apam yang dibagikan, bukanlah apam khas Barabai yang biasa kita temui di pasar.

Apam yang dibagikan pada ritual batumbang adalah apam basumap yang berukuran besar dan tebal. Sehingga untuk membagikannya, harus dipotong-potong terlebih dahulu.

Salah satu peserta membawa wadai (kue) apam yang ditusuk dengan lidi (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Entah apa kaitannya apam dengan prosesi adat di HST. Namun faktanya, nyaris pada setiap prosesi adat maupun keagamaan, suguhan apam senantiasa selalu ada.

BACA JUGA :  Periksa Kesehatan Hewan Kurban, Dispertan HST Tidak Temukan Indikasi PMK

Apam diolah dari beras dan gula merah. Itu adalah salah satu cara orang tua zaman dahulu mewujudkan rasa syukur atas hasil pertanian,” Sekretaris Daerah (Sekda) HST, Muhammad Yani menjelaskan.

Selain apam, pada prosesi batumbang apam juga selalu disuguhkan penganan tradisional, lakatan (ketan). Menurut Muhammad Yani yang akrab disapa Pak Yani, setiap kue dan penganan yang disuguhkan pada prosesi batumbang apam memiliki filosofi yang berbeda.

Lakatan memiliki sifat lengket. Filosofinya, anak-anak setelah menjalani prosesi batumbang apam, diharapkan memiliki ingatan yang kuat. Apapun pelajaran yang diberikan, akan langsung ingat (lengket) di otak,” ujar Pak Yani seraya memandang nampan tempat lakatan yang dipotong kecil-kecil, tersusun dengan rapi.

Bupati HST, H Aulia Oktafiandi mengatakan, pihaknya akan terus mendukung segala bentuk upaya pemajuan kebudayaan setempat, salah satunya dengan memfasilitasi pelaksanaan tradisi batumbang apam yag melibatkan partisipasi berbagai elemen masyarakat.

 “Saya menghargai dedikasi dan upaya keras warga Desa Pajukungan yang telah melestarikan tradisi tersebut, terlebih batumbang apam merupakan budaya yang telah dimiliki secara turun temurun,” katanya.

Warga menggantung payung yang dihias sedemikian rupa (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Sementara Pembakal (Kepala Desa) Pajukungan, Suparyono menambahkan, dari tahun ke tahun pelaksanaan tradisi tersebut, antusiasme dan semangat masyarakat dalam menjaga budaya batumbang apam terus tumbuh dan terjaga.

BACA JUGA :  Ziarah Kubur

“Kita harus selalu menjaga dan merawat budaya peninggalan leluhur yang bernuansa islami, apalagi dapat membawa kemashlahatan masyarakat dan anak-anak kita dapat berkembang menjadi anak yang beriman, bauntung serta batuah,” tambahnya.

Setiap suguhan dan ornamen yang ditampilkan pada prosesi batumbang apam, memiliki filosofi masing-masing. Sebagaimana suguhan apam dan lakatan, begitu pula payung-payung yang dihias sedemikian rupa dan semenarik mungkin.

Demikian halnya pemilihan usia anak yang diikutkan pada prosesi batumbang apam dengan batasan antara enam hingga dua tahun. Menurut sebuah study, anak usia dua tahun ke bawah, mudah mengingat hal pertama yang berkesan dalam kehidupannya.

Karena itu, untuk merefleksikan anak-anak agar mengenal masjid sejak dini, prosesi batumbang apam dilaksanakan pada anak dengan rentang usia tersebut. Sehingga nantinya, diharapkan anak-anak tersebut akan terbiasa datang ke masjid untuk beribadah. (fer)

Pewarta: M Ferian Sadikin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Halalbihalal MKKS SMP se-Banjar, Kepsek Diingatkan Peran Penting Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan

Ming Apr 21 , 2024
"Peran Kepsek dinilai sangat signifikan dalam rangka pencapaian target kinerja Pemerintah Kabupaten (Pemkab), khususnya di dunia pendidikan"

You May Like

TABIRklip