Mangariau Padatuan di Hunjur Meratus

“Harmonisasi hubungan alam dan manusia telah dijaga oleh masyarakat adat Dayak Deah di Liyu sejak zaman padatuan, salah satunya dengan mewujudkan pelestarian alam melalui sistem perladangan”

Penyoyokng atau pemimpin melaksanakan prosesi ritual adat mesiwah pare (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Oleh: Muhammad Ferian Sadikin

Bunga musim kambang sarindu, lagi masaknya…

Minta tarima lawan hati baik…

Minta tarima lawan hati nyaman…

ASKARA (sansekerta; bermakna cahaya) menyembur dari gumpalan sabut kelapa di ujung ruasan bambu, menyibak gulita malam. Lengking alunan musik dari kalang kupak dan babun khas Dayak Deah, mengiringi anak-anak balai baigal (menari-nari, red) membawa hasil panen yang masih mentah dalam prosesi nyerah ngemonta untuk diritualkan.

“Mamang” atau mantra-mantra bertaburan memenuhi isi balai adat dayak deah, Desa Liyu, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel), muda-mudi melesat bak anak sumpit berlenggang dan beratraksi bermandikan api sambil menghentakkan kaki mengikuti irama dari perpaduan alat musik dayak deah, seperti kangkanung, gandrang, babun, agung serta karempet.

Langkah demi langkah meniti tiap anak tangga, menyerahkan hasil panen kepada penyoyokng atau pemimpin ritual di balai adat. Tak henti mulutnya bamamang mengucap puja-puji untuk para datu (bahasa banjar; bermakna leluhur, red) sambil dengan khusyu meneruskan ritual, yakni ngemonta.

Penyoyokng melakukan ritual mesiwah pare gumboh (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Bunga musim kambang sarindu, lagi masaknya, minta tarima lawan hati baik, minta tarima lawan hati nyaman. Mantra tersebut ditujukan untuk mangariau atau memanggil roh-roh leluhur di hunjur (bahasa banjar; kiasan yang menggambarkan padang luas/hamparan) di pegunungan Meratus.

Maknanya, hasil panen yang diserahkan dapat diterima oleh leluhur penjaga sungai atau laut sebagai bentuk permohonan do’a agar dipelihara dan disehatkan dalam menjalani kehidupan.

Malam semakin larut. Mantra terdengar sayup di telinga, masyarakat mulai meninggalkan balai dan beristirahat untuk melanjutkan prosesi adat keesokan harinya. 

***

Dayak Deah di Liyu melakukan prosesi nyerah ngemonta atau mengantarkan hasil panen yang masih mentah ke balai adat (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

Sinar mentari mulai menyelinap dari celah bubungan (atap, red) balai adat, bias embun yang membasahi kaca pun mulai memudar. Laki-laki dengan mandau dan parang bungkul (senjata tradisional kalimantan, red) yang diikat di pinggang mulai menyibukkan diri menyiapkan hasil panen untuk dimasak menjadi lamang (lemang, red) dan membakar ratusan potong ayam.

Riuh tawa ibu-ibu sedang maharu (mengaduk, red) dodol. Dari kawula muda hingga tua membaur mengikat kebersamaan, saling bahu membahu mempersiapkan sajian yang akan diritualkan malam harinya.

Matahari mulai terbenam, tiba waktunya melakukan ritual nengkuat penyoyokng atau mulukng, memiliki makna menyerahkan hasil panen yang telah dimasak kepada pelaku ritual untuk dilakukan besoyokng (menyampaikan, red) ke para padatuan. Dan semua rangkaian itulah yang dinamakan Mesiwah Pare Gumboh atau syukuran panen serentak masyarakat adat Dayak Deah di Liyu.

***

“Bamamang” atau membacakan mantra untuk mangariau padatuan di depan hasil panen yang telah dimasak (foto: TABIRkota/ferian sadikin)

“Sebelum 2019 silam, Mesiwah Pare dilakukan dari rumah ke rumah atau masing-masing kepala keluarga masyarakat adat dayak deah di Desa Liyu dan Gunung Riut,” ujar Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ranu Liyu, Megi Raya Soseno membuka kisah.

2018 akhir, Megi Raya Soseno bersama masyarakat dan pemerintah desa menggelar musyawarah untuk menjadikan Desa Liyu sebagai salah satu tujuan wisata, berbagai agenda telah dilakukan, namun masih belum berhasil.

Setelah disepakati pada 2019, kami sama-sama mengangkat budaya dayak deah yang diberi nama mesiwah pare gumboh dan dilaksanakan setiap Juli, pasca panen.

“Meskipun, pada pelaksanaan Mesiwah Pare Gumboh, jumlah keluarga yang ikut selalu berbeda, karena tidak ada kewajiban menyelenggarakan bersama-sama di balai, namun lebih kepada penyadaran diri agar peduli terhadap pelestarian budaya lokal,” Megi mengenang awal perjuangan mengangkat marwah budaya di kampung halamannya.

Sebagai daerah tertinggal, Desa Liyu belum sama sekali tersentuh sinyal, kala itu. Bahkan balai adat pun belum ada, sehingga arah perubahan untuk yang lebih baik masih buram.

Terlebih, stigma masyarakat umum untuk daerah Kecamatan Halong, khususnya Desa Liyu dan Gunung Riut merupakan teritorial yang rawan tindak kriminal. Namun itu dulu, sebelum Adaro Indonesia memutuskan untuk melakukan pendekatan.

Menurut Community Engagement Supervisor, Community Relation Mediation Departemen PT Adaro Indonesia, Yudi Febrianda, pihaknya mulai melakukan metode pendekatan berbasis masyarakat dan perspektif emic (sudut pandang masyarakat, red) sebagai dasar perencanaan pemajuan Desa Liyu.

“Sejak 2012, Liyu adalah desa ring satu PT Adaro Indonesia melalui Yayasan Adaro Bangun Negeri dan dilanjutkan oleh Community Relation Mediation Dept serta CSR Departemen, PT Adaro Indonesia,” ujarnya.

PT Adaro Indonesia mendampingi dan melakukan peningkatan kapasitas masyarakat Liyu dalam berbagai sektor, diantaranya peningkatan wawasan, pengetahuan dan skill serta pemajuan kebudayaan.

Kemudian juga turut membantu penguatan lembaga adat, identitas budaya, penyelesaian balai adat dan menggagas Mesiwah Pare Gumboh pertama 2019 lalu serta mengutamakan kekuatan sosial budaya masyarakat.

“Sehingga masyarakat dapat terus berkembang dan berkelanjutan hingga saat ini, Adaro juga turut mendukung peningkatan infrastruktur serta fasilitas penunjang destinasi wisata di Desa Liyu,” Yudi Febrianda menceritakan dengan semangat.

Kini, Mesiwah Pare Gumboh telah menjadi wisata kebanggaan masyarakat Balangan, karena dapat menunjang Bumi Sanggam (sebutan untuk Balangan, red) sebagai daerah kunjungan wisata.

“Mesiwah Pare Gumboh bukan hanya sekedar upaya pelestarian budaya, tetapi kini telah menjadi event wisata kebanggaan Balangan,” ujar Bupati Balangan, H Abdul Hadi.

Sebagai event tahunan untuk kali keenam, mesiwah pare gumboh telah menarik banyak pengunjung dari luar Balangan. Bukan sekadar jadi ajang hiburan belaka, namun merupakan sarana pelestarian dan pengenalan budaya lokal kepada generasi muda serta wistawan.

Keterlibatan generasi muda Dayak Deah di Liyu dalam pelaksanaan Mesiwah Pare Gumboh, merupakan bukti kepedulian terhadap pelestarian budaya warisan padatuan.

Mesiwah Pare Gumboh diselenggarakan dengan tiga venue, diantaranya venue pertama merupakan tempat ritual, yakni balai adat. Sedangkan venue kedua panggung tarian tradisional dan konser bertajuk “Suara dari Jantung Borneo” yang dimeriahkan oleh musisi dayak, Sensape dari Delis feat Palui, Daniel Nuhan dan musisi nasional terkenal dengan lagu balada serta kritik sosial, Iksan Skuter.

Venue Liyukustik atau lokasi ketiga menghadirkan suasana santai untuk menikmati alunan musik akustik sambil camping di bawah kilauan bintang, dengan paket wisata tersedia untuk memudahkan pengunjung luar daerah disuguhkan pilihan menginap di rumah penduduk atau berkemah.

Salah satu pengunjung, Restu Ulfah mengatakan, sebagai orang yang pertama kali menyaksikan Mesiwah Pare Gumboh merasa beruntung, karena mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman dari keseharian masyarakat Dayak Deah di Liyu.

“Apa yang ditabur, itulah yang dituai” ungkapan tersebut dipercaya oleh masyarakat adat Dayak Deah Liyu dari zaman padatuan hingga sekarang. Bagi mereka (masyarakat Liyu, red), manusia harus mengemban tanggung jawab sebagai pelestari alam.

“Satu hal yang kami tandai, bahwa masyarakat Desa Liyu sangat menjaga harmonisasi hubungan alam dan manusia, salah satunya dengan mewujudkan pelestarian alam melalui sistem perladangan yang telah dilakukan turun temurun,” Restu Ulfah menceritakan penuh semangat.

Diharapkan untuk event Mesiwah Pare Gumboh tersebut, baik prosesi ritual maupun hiburannya agar lebih gencar lagi dipromosikan, sehingga tahun berikutnya lebih banyak pengunjung yang menyaksikan.

***

Butiran padi perlahan jatuh dan seakan mengalir menuju upak atau ruang untuk menyimpan padi ke dalam lumbung sebagai simbol rasa syukur atas panen yang melimpah tahun ini. 

Namun sayang ritual memasukkan padi tersebut tidak boleh didokumentasikan, karena ada hal yang diyakini masyarakat Dayak Deah bersifat rahasia.

Puncaknya, prosesi adat Mesiwah Pare Gumboh ditandai dengan nowus babatn atau ritual mengakhiri acara. Dalam rangkaiannya masyarakat adat Dayak Deah Liyu menyisipkan ritual memasukkan padi, sidang adat dan prosesi penutup, yakni menyerahkan tombai atau memberikan sebagian hasil panen kepada penyoyokng sebagai tanda terima kasih.

Tidak ada prosesi mangudang atau tari topeng tahun ini, karena ritual tersebut hanya dilaksanakan jika si pemilik panen memiliki nazar atau janji dan meminta untuk dilakukan rangkaian itu. 

Mesiwah Pare Gumboh sejak 2022 lalu telah terdaftar dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBtb) Indonesia dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan domain adat istiadat masyarakat, ritus dan perayaan-perayaan asal Kalsel. (fer)

Pewarta: M Ferian Sadikin

Journalist | Editor | - Hulu Sungai Tengah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Jual Tuak, Nenek 51 Tahun di Balangan Diamankan Polisi

Kam Agu 1 , 2024
"SA tercatat sudah beberapa kali terjaring operasi penyakit masyarakat atau Pekat, baik yang dilaksanakan Polres Balangan maupun Satpol PP setempat"

You May Like

HUT TABIRkota 3 Tahun

TABIRklip