Penulis: Pahri Rahman
SUATU hari di awal 2021. Saat itu, kami sedang ada kegiatan penelitian di Desa Liyu, Kecamatan Halong, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel). Sebuah desa terujung di Balangan yang berbatasan dengan Kabupaten Tabalong dan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Di desa dengan luas wilayah 455.696 Hektar dan dihuni sekitar 328 jiwa tersebut, kami disambut dengan ramah oleh Pambakal (Kepala Desa), Sukri. Beliau yang saat itu sedang menempuh pendidikan disalah satu perguruan tinggi di Kota Banjarbaru, bercerita banyak tentang upaya pemerintahan tingkat desa yang dipimpinnya, dalam menggali dan mengembangkan potensi wisata di Liyu untuk meningkatkan perekonomian warganya.
Pambakal Sukri menceritakan kepada kami tentang bagaimana meriahnya Festival Mesiwah Pare Gumboh, sebuah ritual adat perayaan panen suku Dayak Deah yang dilaksanakan setiap Juli.
Mesiwah Pare Gumboh yang awalnya dilaksanakan secara perorangan oleh warga Liyu, sejak 2019, festival sebagai bentuk rasa syukur tersebut, mulai dikemas dengan lebih menarik hingga dapat dinikmati juga oleh masyarakat luar Liyu.
Belakangan, dari hasil berselancar di internet, saya mengetahui bahwa Mesiwah Pare Gumboh telah sukses menjadi event wisata tahunan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Balangan serta telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Indonesia pada 30 September 2022. Sebuah pencapaian luar biasa.
Selain cerita tentang Mesiwah Pare Gumboh, Pambakal Sukri juga mengajak kami berwisata ke Watu Badinding. Kala itu, sedang dilakukan pembangunan beberapa gazebo di tebing-tebing batu yang berdiri kokoh di kiri kanan aliran sungai yang berwarna hijau menawan itu.
Selain gazebo, juga tengah dibangun jembatan yang kontruksinya menggunakan bambu, hasil studi banding dan pelatihan warga Liyu ke Yogyakarta. Bambu sendiri merupakan komoditi yang ketersediaanya melimpah di Liyu.
Saya bertanya kepada Pambakal Sukri, bagaimana mereka yang nota bene berada di pelosok, mampu melakukan semua pekerjaan hebat dalam upaya mengangkat potensi wisata di Liyu. Bahkan sampai “menyekolahkan” warga untuk belajar kontruksi jembatan dari bambu ke Yogyakarta.
“Semua dibantu PT Adaro Indonesia melalui program Corporate Social Responsibility (CSR),” ujar Pambakal Sukri kala itu.
Saya termenung, apa iya perusahaan pertambangan yang nota bene mengeruk perut bumi untuk mengambil batu bara dan “merusak bentang alam”, akan serius menjalankan program CSR mereka?
Namun kemudian, setelah saya melakukan pencarian di mesin pencarian, ternyata program tanggung jawab sosial yang dijalankan PT Adaro Indonesia terhadap masyarakat sekitar tambang di Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan, Tabalong, Barito Kuala (Batola) dan Barito Timur (Bartim) serta Barito Selatan (Barsel) di Kalimantan Tengah (Kalteng), menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan.
Bahkan, perusahaan pertambangan yang didirikan 26 Agustus 2004 silam tersebut, telah menggelontorkan dana puluhan milyar untuk program tanggung jawab sosialnya. Nyaris segala bidang, baik pendidikan, kesehatan, peternakan, pertanian, pariwisata serta Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), tak luput dari sentuhannya.
Pada bidang kesehatan misalnya, perusahaan pertambangan yang memproduksi batu bara 55,57 juta ton dengan laba bersih sebesar Rp17,91 Triliyun per September 2024 itu, telah menyerahkan bantuan sebesar Rp877,5 Juta kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Balangan, seperti dilansir dari laman Radar Banjarmasin, Jumat (11/10/2024).
Bantuan tersebut, diberikan untuk program operasi katarak gratis, melalui program Adaro Aksa Terang. Bekerja sama dengan Puskesmas Batumandi, Puskesmas Juai, Puskesmas Lampihong, Puskesmas Awayan, Puskesmas Halong dan Puskesmas Tebing Tinggi, CSR PT Adaro Indonesia berhasil menghadirkan terang bagi 154 pasang mata warga Balangan.
Selain dibidang kesehatan, Adaro juga menggelontorkan dana sebesar Rp11,6 Milyar untuk program beasiswa gratis kepada 100 siswa berprestasi untuk menempuh pendidikan di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Tak hanya bidang kesehatan dan pendidikan, peternakan dan UMKM pun mendapatkan perhatian. Sedangkan di bidang pariwisata, kiranya kita tidak perlu meragukan lagi karena ada bukti konkrit seperti di Liyu.
Seorang peternak bebek di Balangan, Zainuddin, mengaku sangat terbantu atas bantuan perusahaan dalam memajukan usahanya.
Kini, kata Zainuddin, di desanya terdapat tiga usaha kecil menengah yang tumbuh dan berkembang karena dibantu CSR Adaro, berupa peternakan kelulut, bebek petelur dan pemeliharaan ikan di kolam.
Pun Siti Nurjannatun Na’im, warga Desa Lasung Batu, Kecamatan Paringin. Pengrajin produksi olahan keripik pisang dengan berbagai varian rasa, kacang telor dan aneka kue kering itu, juga merasa terbantu usaha kecilnya berkat adanya gelontoran dana CSR.
Karena bantuan perusahaan pada berbagai bidang, menghantarkan PT Adaro Indonesia meraih dua penghargaan CSR dan Pengembangan Desa Berkelanjutan (PDB) Award 2024, yang dilaksanakan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI.
Seperti dilansir dari laman berita Antara, Selasa (14/5/2024), dua penghargaan yang diterima mencakup dua program unggulan CSR Tahun 2023, yaitu pengembangan pariwisata di Desa Liyu untuk kategori emas dan pengembangan BUMDesa Mitra Bersama melalui usaha produksi air minum dalam kemasan untuk kategori silver di Jambu, Kuripan, Batola.
Kewajiban
KEWAJIBAN CSR perusahaan telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2027 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012).
CSR secara sederhana dapat diartikan sebagai komitmen berkelanjutan dari perusahaan untuk bertindak secara etis, legal, dan berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup pekerja dan keluarga, komunitas lokal serta masyarakat secara keseluruhan di areal perusahaan beroperasi.
Adapun contoh CSR perusahaan yang sering dilakukan adalah pengolahan limbah, pembangunan infrastruktur, program donor darah dan operasi katarak di bidang kesehatan, beasiswa pendidikan, pengembangan UMKM serta pemberian bibit ikan dan pohon, pengelolaan desa wisata dan lain sebagainya.
Oleh sebab itu, bagai tak ingin disebut hanya mengambil batu bara di dalam perut bumi di Balangan, Tabalong dan Bartim serta Barsel tanpa memberikan manfaat terhadap masyarakat sekitar, PT Adaro Indonesia terlihat serius dalam menggarap tanggung jawab sosial dan lingkungan areal operasionalnya.
Jika tak menggelontorkan dana CSR, maka perusahaan akan mendapatkan sanksi hukum dari pemerintah. Sebaliknya, bila tak serius dalam pengelolaan dan perencanaan bantuan CSR, bukan tak mungkin pula, dana bantuan tersebut tak sampai kepada masyarakat.
Uang milyaran pun akan menguap begitu saja tanpa adanya bukti nyata dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM), mensejahterakan masyarakat dengan membantu petani, peternak, UMKM dan pembangunan fisik lainnya.
Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, apakah berbagai program CSR yang telah digelontorkan akan terus berlanjut dan benar-benar memberikan manfaat nyata terhadap masyarakat?
Jawabannya tergantung manajemen perusahaan dan bagaimana peran serta yang dilakukan pemerintah daerah serta seberapa serius masyarakat dalam memanfaatkanya, seperti keberhasilan Zainuddin dan Siti Nurjannatun Na’im.