SORE itu, di tengah keramaian Pekan Raya Tabalong 2024, Karmila berdiri di sebuah stand, menyapa para pengunjung yang melintas. Di atas rak, deretan sabun handmade miliknya tertata rapi, memancarkan aroma lembut.
Karmila membagikan kisahnya di sela kesibukan melayani pembeli. Bukan sekadar kisah bisnis, melainkan cerita tentang cinta seorang ibu kepada anaknya, yang menjadi inspirasi utama lahirnya sabun berbahan alami.
Dari kulit buah yang biasa dibuang, ia meracik harapan, dan dari kegagalan, ia mencetak keberhasilan. “Semua dimulai dari anak saya,” ujarnya di Pekan Raya Tabaling, Selasa (3/12/2024).
Cinta yang Tertuang dalam Sabun
Kisah ini bermula bukan dari bisnis, melainkan karena cinta seorang ibu kepada anaknya. Anak Karmila lahir prematur, dengan kulit sensitif. Ketika produk perawatan bayi komersial menyebabkan kulit anaknya mengelupas dan kasar, ia merasa terpanggil untuk menemukan solusi.
“Saya mencari sabun berbahan alami, tapi sulit ditemukan,” kenangnya. Sebuah harapan menyala ketika seorang teman di komunitas ekoenzim mengenalkannya pada sabun berbasis fermentasi alami. Layaknya seorang alkemis, Karmila bereksperimen dengan bahan-bahan dapur: kulit buah, minyak zaitun, alkali.
Dari fermentasi kulit buah dan sayur, ia mulai bereksperimen hingga akhirnya menemukan formula sabun herbal yang cocok untuk anaknya.
Sabun itu bukan hanya melembutkan kulit anaknya, tetapi juga menjadi awal dari perjalanan usaha Miranfa. “Anak saya sudah pakai sabun ini sejak bayi sampai sekarang. Dari situ saya coba tawarkan ke tetangga, dan mereka suka,” ujarnya dengan penuh syukur.
Kesalahan yang Meledak, Pelajaran yang Melekat
Perjalanan Karmila tidak selalu mulus. Ia mengenang masa-masa awal saat ia belajar membuat sabun. “Pernah suatu kali meledak karena saya salah urutan mencampurnya,” kenangnya, tertawa.
Ia menceritakan bagaimana ia menghadapi trial and error selama satu tahun penuh, dari sabun yang mudah lembek, berongga, hingga tekstur yang kasar. “Proses curing sabun itu saja butuh satu bulan, dan sebelum itu sering gagal. Tapi saya tidak menyerah, terus belajar dari kalkulator sabun dan mengikuti kelas daring,” tambahnya.
Setiap potong sabun yang keluar dari cetakannya adalah buah dari keuletan. Bahkan, ketika ia memenangkan juara tiga di kompetisi Adaro Spectapreneur 2024, uang hasil kemenangannya langsung ia investasikan untuk membeli alat ekstraksi minyak.
Kini, ia sudah menemukan formula yang seimbang, menghasilkan sabun dengan berbagai varian seperti charcoal untuk detoksifikasi, kulit manggis untuk antioksidan, dan green tea untuk merawat kulit.
Produk Miranfa telah merambah e-commerce dengan penjualan seratus buah sabun per bulan. Peluang kerja sama dari luar negeri sempat datang, meski ia mengaku masih belum siap. “Belum ada sabun ekoenzim di sana. Mereka penasaran, tapi saya belum siap,” ujarnya.
Selain membangun usaha, Karmila juga menjadi ketua Komunitas Ekoenzim Tabalong, melatih petani membuat ekoenzim, hingga mendistribusikan hasil fermentasi untuk pupuk gratis. Baginya, ini adalah cara lain untuk memberikan kembali kepada masyarakat.
Miranfa: Lambang Ketekunan dan Harapan
Di balik produk Miranfa tersimpan pesan sederhana: bahwa sesuatu yang kecil, dibuat dengan cinta dan ketekunan, dapat berdampak besar. Karmila mungkin hanya seorang ibu muda, tetapi ia telah menciptakan sabun yang tidak hanya melembutkan kulit, tetapi juga membuka peluang untuk hidup lebih ramah lingkungan.
Ketika sore mulai mereda di Pekan Raya Tabalong, Karmila tetap melayani pengunjung dengan senyum ramah. Di tangan Karmila, sabun handmade Miranfa menjadi simbol semangat seorang ibu yang tak pernah berhenti berjuang—untuk anak, lingkungan, dan dunia yang lebih lembut. (adv)