Pendakian ke Halau-Halau: Pintu Masuk Saranjana

Komunitas Pendaki Timbul Tenggelam dari Tabalong saat melakukan pendakian ke puncak Halau-Halau (foto: TABIRkota/ist)

Oleh: Kadarisman

DI SHELTER SUNGAI KARUH waktu hampir senja. Rombongan memutuskan bermalam di tempat itu. Barang bawaan dibongkar, tenda didirikan.

Sekira 20 meter dari tempat bermalam itu terdengar suara air menggesek alas batu, jatuh tertumbuk ke bebatuan lain di bawahnya. Timpukkan air itu lalu pecah terburai terhambur rapai. Tersisa serupa gumpalan buliran buih yang tak pernah berhenti bergemuruh. Anehnya di kicau kuciak riak air terjun itu saya begitu lelapnya malam itu.

Kondisi yang sangat lelap mampu mengantarkan otak mencapai gelombang frekuensi 4-8 Hz. Gelombang itu kerap digunakan dalam metode berbagai penyembuhan. Kondisi itu dapat dielaborasi sebagai wasilah penyembuan problem psikomatis hingga beragam keluhan anxiety disorder.


Minibus kelir putih yang ditumpangi 10 orang menepi di kampung Kiyu pagi Sabtu, 23 November 2024, Pukul 08.30 Wita. Rombongan yang berasal dari komunitas pendaki Timbul Tenggelam Kabupaten Tabalong itu akan melakukan trekking ke ketinggian 1.901 Mdpl Gunung Halau – Halau. Mereka memindahkan bawaannya, mulai dari daypack, keril, sleeping back hingga trekking pole, termasuk kesediaan logistik selama melakukan trekking dan hiking.

Waktu sudah seperempat siang, matahari masih berkalang awan. Hari itu terik tak menyalak kampung Kiyu. Udara berasa sejuk disambut warga Kiyu yang bersahabat. Setelah mendapatkan pengarahan dari ketua rombongan dan doa bersama, perjalanan pun dimulai.

“Kawan-kawan, pendakian kita mungkin akan memakan waktu beberapa jam berjalan kaki. Kita tetap dalam rombongan dan kembali dengan rombongan yang sama dengan sehat dan selamat,” ujar ketua pendakian Halau Halau, Muhamamd Saleh.

Sepanjang satu kilo meter perjalanan rombongan menemui dua jembatan gantung yang sudah menua. Jalan yang dilewati membelah ladang warga lokal Dayak Meratus. Menyusuri pahumaan yang baru ‘dipanduk’ berjumpa dengan sekelompok warga sedang istirahat sehabis bergotong royong menanam padi, mereka menegur ramah rombongan yang lewat.

Jarak antara kampung Kiyu dengan pos satu di Tiranggang hanya terpaut 5 kilo meter. Hanya menuju Tiranggang, rombongan pendaki harus melewati 90% jalan menanjak. Terjalnya jalan yang dilalui membuat rombongan mencapai Tiranggang pada pukul 13.00 atau 4 jam perjalanan. Setelah istirahat sejenak dan menunaikan salat, rombongan pun bersiap untuk mencapai shelter Sungai Karuh.

Tiranggang merupakan puncak dengan ketinggian 700 – 800 Mdpl. Di tempat ini tersedia pos 1 bagi para pendaki Halau – Halau atau pun bagi mereka yang melakukan perjalanan ke Desa Juhu, sebuah desa Dayak Meratus yang hanya bisa diakses dengan berjalan kaki seharian penuh.

“Kalau berangkat di pukul 13.00 seperti ini, di pertengahan jalan kami mesti menginap. Besok pagi baru dilanjutkan,” ujar seorang petugas kepolisian. Tiga personel polisi dan dua orang TNI akan menjalankan tugas pengamanan pilkada 2024 hingga hari H plus satu pilkada.

Puncak Tiranggang siang itu disaputi kabut yang menyentuh ubun – ubun. Cuaca berubah menjadi dingin. Embun yang terbawa kabut hinggap di bulu mata dan wajah. Kabut menebal dan berarak – arak ditiup angin puncak. Rombongan yang menuju shelter Sungai Karuh menyiapkan mantel plastik. Gelagatnya hujan akan turun dalam waktu segera.

Benar, tak lebih dari 30 menit. Hujan lebat pun turun. Air hujan turut menggenangi jalan curam yang setapak. Jika tidak tepat mengambil pijakkan kaki, tanah licin akan membuat orang kehilangan keseimbangan dan terguling. Hampir sepanjang perjalanan bertemankan hujan, suara burung dan alam serta hewan lintah berkeliaran.

“Akkhh… toloooong, pacat (lintah)”

Uti, seorang dari tiga mahasiswi dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jogjakarta reflex berteriak ketika dua ekor lintah menempel di ujung jari dan mantelnya.

“Apakah masih jauh, Bang? Lutut rasanya sudah mulai gemetaran,” tanya Tiara.

Pendakian di tengah hujan dapat membetot tenaga lebih extra. Gangguannya tidak hanya jalan yang licin tapi juga serangan lintah yang kelaparan. Sejatinya lintah tidak membahayakan, hanya saja melihat bentuk lintah saja orang bisa ketakutan. Apalagi ketika lintah sedang menghisab darah tidak mudah untuk melepasnya.


Halau – Halau masih berupa hutan belantara. Sepanjang trekking akan melewati pemandangan alam yang belum tersentuh industry. Pohon – pohon besar dan rimbun menjadi sajian yang tidak ditemukan di tempat biasa. Di beberapa titik terdapat pohon kariwaya yang dikeramatkan sebagai tempat hunian mahluk goib.

Sekira pukul 17.00 rombongan akhirnya mencapai shelter Sungai Karuh, tempat memasang tenda dan bermalam dengan nyanyian gemuruh air terjun yang tingginya lebih dari serratus meter. Puncak Halau Halau masih sekira 6 kilo meter lagi dengan melewati pos Jumantir dan Penyaungan. Untuk sampai ke puncak dibutuhkan 10 jam lagi.

Diketahui, tidak jauh dari pos 3 Jumantir terdapat pohon kariwaya yang tengahnya menyerupai gerbang. Pada tengah pohon itu menjadi akses bagi pendaki kearah puncak. Pohon keramat itu diangkat ke dalam film Saranjana: Kota Ghaib.

Dikatkakan, pada persyaratan tertentu melewati gerbang itu akan mengantar orang ke kota Saranjana: Kota Ghaib, kota berperadaban maju di wilayah Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan

“Kita harus bawa Mandau keramat, kemudian masuk pohon halau halau, pohon yang dikeramatkan suku Dayak. Pohon kariwaya yang umurnya ratusan tahun yang ada hanya di Meratus. Kalau ikam handak kesana perlu waktu dua hari,” jelas Abah Hadran, orang pintar pada scene film Saranjana: Kota Ghaib

Kini Halau Halau oleh pemerintahan Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) dan Megalitikom Institute dinobatkan sebagai The Green Belt of Borneo. Penobatan itu ditandatanganinya prasasti oleh bupati setempat di ketinggian 1.901 Mdpl Halau – Halau pada 3 Juni 2024 lalu.

Penandatanganan di Puncak dengan suhu 15 derajat celcius tersebut juga disaksikan oleh para pendaki ketika itu, termasuk pendaki dari warga negara asing seperti Canada, Amerika Serikat dan Swis. Pemerintah setempat menanam harapan Halau Halau bisa menjadi destinasi wisata pendakian kelas dunia.***

TABIRkota

Dari Banua Untuk Dunia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Tingkatkan Minat Baca, Pemkab HST Gelar Perpustakaan Keliling di Muara Hungi

Sen Nov 25 , 2024
"Perpustakaan keliling di SDN Muara Hungi diikuti 50 siswa dengan diisi kelas baca, dongeng dan bercerita"

You May Like

HUT TABIRkota 3 Tahun

TABIRklip