
Oleh: Dewi Gunati, M.Hum
KRISIS lingkungan yang sedang dihadapi hari ini sesungguhnya bukan hanya soal suhu bumi yang meningkat atau curah hujan yang tak menentu.
Di balik seluruh gejala ekologis itu terdapat cermin besar yang memantulkan krisis lain yang jauh lebih mendasar: krisis kesadaran manusia. Krisis ini menyentuh cara kita memandang diri sendiri, alam, serta makna hidup yang sesungguhnya.
Ketika manusia melihat alam semata-mata sebagai sumber daya untuk dieksploitasi, hubungan kita dengan bumi pun berubah menjadi relasi yang timpang.
Sebaliknya, jika kita memahami diri sebagai bagian dari jejaring kehidupan yang saling bergantung, maka seluruh pilihan hidup kita—dari cara makan, bepergian, hingga cara memproduksi pengetahuan—akan berubah.
Perdebatan global tentang perubahan iklim menunjukkan betapa persoalan lingkungan tidak dapat dilepaskan dari politik, ekonomi, bahkan gender.
John C. Dernbach dan Seema Kakade menegaskan bahwa hukum iklim modern harus dipandang bukan hanya sebagai urusan teknis, tetapi sebagai urusan moral serta keadilan
lintas generasi.
Jacqueline Peel menambahkan pentingnya ruang pengetahuan publik, agar masyarakat tidak sekadar menjadi penerima kebijakan, melainkan subjek yang mampu menentukan arah masa depan lingkungan mereka.
Namun pertanyaan mendasar yang perlu diajukan kembali adalah: Apakah manusia masih memiliki spiritualitas ekologis? Apakah kita masih memiliki kesadaran batin untuk merawat bumi dengan ketulusan, bukan hanya karena tuntutan regulasi?
Bumi Tidak Diam
Perubahan iklim bukan sekadar data statistik; ia adalah bahasa penderitaan bumi. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa suhu global terus meningkat, dan Indonesia tidak luput dari dampaknya. Musim bergeser, curah hujan semakin ekstrem, dan bencana ekologis—dari banjir hingga kekeringan—semakin akrab dalam kehidupan sehari-hari.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pernah memperingatkan bahwa umat manusia sedang melakukan “bunuh diri massal dengan karbon”. Alam diperlakukan seperti tempat sampah raksasa—dibakar, ditambang, dikuras seolah tidak memiliki batas.
Greta Thunberg menamainya sebagai destruction disguised
as progress, yaitu kehancuran yang menyamar sebagai kemajuan. Semua ini lahir dari mitos lama tentang pertumbuhan tanpa batas. Selama puluhan tahun manusia modern percaya bahwa semakin banyak memproduksi dan mengonsumsi, semakin maju peradabannya.
Padahal, kemajuan yang mengorbankan keberlanjutan justru adalah kemunduran moral dan spiritual. Di titik inilah muncul konsep ecological citizenship—kewarganegaraan ekologis—yang melihat bahwa tanggung jawab manusia tidak berhenti pada batas negara.
Kennedy (2011) menyebutnya sebagai upaya membangun kesadaran budaya bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan, Jagers (2014) menekankan bagaimana konsep ini menantang perbedaan antara kepentingan publik dan kepentingan pribadi.
Dengan demikian, menjaga bumi bukan semata tugas negara atau aktivis lingkungan, tetapi kewajiban moral setiap warga planet. Menjadi warga ekologis berarti sadar bahwa setiap tindakan kecil—memilih makanan, mengelola sampah, mengurangi konsumsi—berkontribusi pada keberlanjutan bumi.
“Handarbeni” Bumi
Nilai-nilai kewarganegaraan ekologis sesungguhnya telah lama hidup dalam budaya Nusantara. Dalam Serat Wedhatama, Mangkunegara IV mengajarkan tentang
handarbeni—rasa memiliki yang melahirkan tanggung jawab. Rumangsa melu handarbeni, wajib hangrungkepi, lan mulat sarira hangrasa wani.
Tiga nilai ini menggambarkan relasi manusia dengan kehidupan: merasa memiliki, ikut menjaga, dan berani mawas diri.
Jika seseorang memiliki rasa handarbeni terhadap lingkungan, ia tidak akan menunggu perintah untuk menjaga. Ia akan tertatih menanam, merawat, dan membersihkan lingkungan karena ia merasa menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri.
Handarbeni adalah bentuk spiritualitas ekologis yang tumbuh dari kesadaran, bukan paksaan. Nilai ini sejalan dengan konsep sisu di Finlandia—meski lebih dikenal sebagai ketangguhan, sisu juga mencakup semangat untuk melindungi alam dan menghadapi tantangan ekologis dengan keteguhan batin.
Keduanya mengajarkan bahwa hubungan manusia dengan alam tidak sekadar hubungan utilitarian, tetapi hubungan emosional dan spiritual yang melahirkan tanggung jawab tulus.
Dengan memahami handarbeni, manusia diajak mengembalikan makna hidup melalui hubungan harmonis dengan lingkungan. Kesadaran ini bukan hanya menyelamatkan alam, tetapi juga menyelamatkan manusia
dari kehilangan jati diri di tengah modernitas yang serba cepat.
Spirit Baru
Di tengah kebisingan peradaban modern, manusia perlahan kehilangan kemampuan mendengar suara bumi.
Bencana ekologis adalah panggilan agar kita kembali kepada keseimbangan.
Pendidikan lingkungan, kebijakan publik, dan gerakan sosial tidak cukup jika hanya berhenti pada pengetahuan teknis; semuanya harus melampaui ke arah pembentukan rasa keterhubungan dengan alam.
Sebab pengetahuan tanpa empati hanya akan melahirkan kebijakan tanpa jiwa.
Inilah inti spiritualitas lingkungan: bukan ritual semata, tetapi cara pandang hidup. Kita tidak kekurangan data tentang perubahan iklim; yang kurang adalah kesadaran bahwa kita adalah bagian dari bumi, bukan penguasa tunggalnya.
Bumi tidak menuntut banyak—hanya agar manusia hidup dengan cukup, dengan hormat, dan dengan kasih.
Pada akhirnya, menyelamatkan bumi bukan tentang mencegah planet ini hancur—bumi dapat pulih tanpa manusia.
Ini tentang menyelamatkan manusia dari kehilangan makna, arah, dan kemanusiaannya sendiri. (fer)

Dr. Dewi Gunawati, M.Hum
Sosiolog Universitas Sebelas Maret




