Kepsek Tampar Murid; Mereka Korban Luka

“Kasus ini semestinya tidak diakhiri dengan saling menyalahkan. Tidak perlu meluaskan friksi dua kutup yang saling bertentangan, karena akan membuat luka semakin dalam”

Kasus Kepsek menampar murid karena merokok di sekolah (ilustrasi/net)

Penulis: Kadarisman, MAP,. STHT,.C.PS,. CHt

Beberapa waktu baru ini, jagat media sosial dan media mainstream diramaikan oleh sebuah video dan berita: seorang kepala sekolah menampar muridnya yang tertangkap sedang merokok di lingkungan sekolah. Publik pun terbelah pro kontrak, ada yang membela sang kepala sekolah dengan dalih kedisiplinan, ada pula yang mengecam keras tindak kekerasan terhadap anak tidak dapat dibenarkan. Namun, di balik hiruk pikuk perdebatan itu, mungkin kita lupa satu hal penting: guru dan murid sama-sama korban dari pola masa lalu yang belum sembuh.

Bagi sebagian guru, cara keras seringkali lahir dari pengalaman dididik dengan keras pula. Mungkin mereka tumbuh dalam lingkungan yang meyakini bahwa ketegasan harus dibungkus dengan suara tinggi, atau bahwa hukuman fisik adalah bentuk kasih sayang.
Sementara di sisi lain, murid yang merokok di sekolah kerap distigma anak yang “nakal”, padahal ada fakta lain yang sering ditemuman, mereka adalah anak yang sedang berjuang mencari pengakuan, perhatian, atau pelarian dari luka batin yang belum ia mengerti.

Dalam pandangan saya sebagai hypnoterapis profesional, di titik ini, kita sedang melihat dua inner child yang bertemu , dua jiwa yang sama-sama memanggul masa lalu yang belum selesai. Ketika luka bertemu luka, mudah sekali ledakan terjadi. Maka menilai salah satu tanpa memahami akar emosionalnya, justru memperdalam luka itu sendiri dan membiarkan merka tanpa pulih.

Saya percaya, tegas tidak harus berarti keras. Tegas berarti jelas dalam batas, konsisten dalam nilai, tapi tetap lembut dalam pendekatan. Anak-anak muda zaman ini tak lagi bisa dibentuk dengan teriakan atau dengan pukulan tangan bahkan rotan di zaman dahulu, tapi bisa disentuh dengan ketulusan.

Begitu pula guru-guru kita, mereka pun perlu ruang untuk disembuhkan, didengar, dan dipeluk secara emosional. Karena bagaimana mungkin seorang pendidik bisa menenangkan badai muridnya, jika di dadanya sendiri masih ada badai yang belum reda? Ketidakmampuan kepala sekolah memilih opsi tidak memukul menjadi indikator ia pun mesti dipulihkan dari inner child masa lalu yang dia sendiri tak pernah menyadarinya.

Kasus ini semestinya tidak diakhiri dengan saling menyalahkan. Tidak perlu meluaskan friksi dua kutup yang saling bertentangan, karena pasti akan membuat luka pada anak dan kepala sekolah semakin dalam. Kasus ini bisa dilihat dengan refleksi kolektif. Sekolah bukan arena hukuman, melainkan ruang pemulihan. Guru bukan hakim, tapi penuntun. Murid bukan terdakwa, melainkan manusia muda yang sedang belajar memahami dirinya di lingkungan yang yang penuh dinamika.

Saya ingin katakan ada banyak opsi sebagai pilihan dalam menangani siswa dengan beragam persoalannya, namun pada fakta banyak guru seolah lumpuh memilih opsi yang dapat menghadirkan bahasa cinta di dalamnya.
Pada akhirnya, semua pihak pasti sepakat: siapapun, baik guru maupun murid layak diperlakukan dengan cinta. Cinta yang tidak memanjakan, tapi menumbuhkan. Cinta yang tidak membiarkan salah, tapi tetap menggandeng tangan untuk berjalan bersama menuju yang lebih baik.

***

Maksimalkan Guru BK

Dalam situasi seperti ini, guru BK memiliki peran sentral. Mereka bukan sekadar pajangan tanpa peran, melainkan penjaga keseimbangan emosional di sekolah. Tugas utamanya membaca tanda-tanda, seperti perubahan psikologis dan perilaku murid yang gelisah, guru yang lelah, atau suasana kelas yang mulai tegang. Sekolah yang sehat dimulai dari ruang yang aman bagi setiap emosi.

Saat kekerasan terjadi, guru BK seharusnya hadir sebagai penenang, bukan pengadil. Mereka membantu guru dan murid memahami akar emosinya masing-masing. Bukan untuk mencari siapa salah, tapi bagaimana luka bisa disembuhkan. Kadang, yang dibutuhkan bukan sanksi, tapi ruang teduh untuk menangis dan diterima apa adanya.

Lebih jauh, guru BK menanamkan budaya empati di sekolah. Mereka mengajarkan bahwa disiplin tidak perlu disertai ancaman, dan rasa hormat tidak harus lahir dari ketakutan. Pendekatan manusiawi membuat guru dan murid belajar bersama: memahami diri, mengelola emosi, dan bertanggung jawab atas pilihan.

Pada akhirnya, kekerasan di sekolah adalah tanda bahwa ada jiwa yang belum sembuh. Selama ini kejadian kekerasa di sekokah selalu berulang dan belum jadi pengajaranDan itu akan terus terjadi karena di sekolah jiwa jiwa yang luka itu layaknya fenomena gunung es.

Guru BK bisa menjadi jembatan antara luka dan cinta. Jika setiap sekolah memberi ruang yang cukup bagi konseling berjalan dengan hati, peristiwa serupa tak perlu terulang. Karena sejatinya, pendidikan adalah tentang menyembuhkan. Kepaek yang menampar dan murid yang ditampar sejatinya mereka korban luka yang perlu dipeluk agar pulih.***

Penulis: Kadarisman, MAP,. STHT,.C.PS,. CHt
Coach Spiritual Emotional Freedom Tecnique (SEFT) & Praktisi di Hypnoclinic Tabalong
tinggal di Tanjung, Tabalong

Uploader: Donathan El Sans

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Jelang Penerbangan Banjarmasin-Kuala Lumpur, Bandara Internasional Syamsudin Noor Gelar Simulasi

Jum Okt 17 , 2025
banjarmasin, bandara syamsudin noor, injourney airports, airasia, kuala lumpur, simulasi penerbangan, penerbangan internasional

You May Like

HUT TABIRkota 3 Tahun

TABIRklip