Oleh: Fani Fadillah
TIDAK seperti gudang penggilingan padi pada umumnya yang mengepulkan asap hitam dan suara bising, pabrik Penggilingan Padi Mira Putut di Desa Bagok, Kecamatan Benua Lima, Kabupaten Barito Timur (Bartim), Kalimantan Tengah (Kalteng), justru sebaliknya.
Tidak ada suara bising yang memekakkan telinga hingga membuat orang harus berteriak bila sedang berbincang, saat mesin beroperasi. Pun tidak ada asap hitam hasil pembuangan mesin yang menyesakkan dan menjadi polutan.
Itulah mesin penggilingan padi modern yang dimiliki dan dikelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Bagok, sejak 2021 lalu. Hingga kini, telah banyak manfaat yang dirasakan warga setempat, khususnya para petani, yang sangat dimudahkan dalam mengolah hasil pertanian mereka.
“Selain menjadi lebih mudah, juga lebih murah karena para petani tidak perlu pergi jauh-jauh ke Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) untuk menggiling padi. Sangat ekonomis,” ujar Pambakal (Kepala Desa, red) Bagok, Risa Ramayati.
Bagok merupakan salah satu desa di Benua Lima dengan luas permukiman 2000Ha/m2. Dihuni sekitar 577 jiwa dengan mata pencaharian penduduknya sebagai petani, penyadap karet, usaha kerajinan tangan dan sebagian peternak.
Bagok terbagi menjadi tiga Rukun Tetangga (RT) dengan batas wilayah Desa Bamban di sebelah utara, Banyu Landas di selatan dan Gudang Seng di barat. Bagok juga berbatasan langsung dengan Kecamatan Kalua, Kabupaten Tabalong, Kalsel yang dulu merupakan tujuan bagi warga setempat untuk menggiling padi mereka.
Namun sejak berdirinya Penggilingan Padi Mira Putut, warga Bagok sudah dapat mengolah hasil panen di desa mereka sendiri, tanpa harus jauh-jauh ke provinsi tetangga.
Kelebihan lain dari pabrik penggilingan padi itu dibandingkan penggilingan padi lainnya, tidak ada batasan jumlah dan waktu. Artinya, berapa saja padi petani yang hendak digiling, akan dilayani. Bahkan, kapanpun dibutuhkan, meski malam hari sekalipun, tetap dilayani.
***
“DI BAGOK, terdapat sekitar 100 hektar lahan potensial dan baru kurang lebih 50 persennya yang produktif,” ujar CSR Program Supervisor PT Adaro Indonesia, Bahmi.
Sebagai perusahaan pertambangan batu bara nasional yang memiliki tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar tambang, PT Adaro Indonesia terpanggil untuk melakukan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di Bagok.
Potensi lahan yang ada, dipandang sebagai peluang yang dapat dikembangkan untuk mendorong kemandirian masyarakat.
Menurut Bahmi, melalui program Bina Desa, PT Adaro Indonesia mencari solusi pengembangan ekonomi di Bagok pada sektor pertanian yang berkelanjutan.
“Program Bina Desa didesain berdasarkan riset pemetaan sosial dan rencana pembangunan lima tahun yang melibatkan berbagai pihak, salah satunya Institut Pertanian Bogor (IPB),” ujarnya.
Mahasiswa dari IPB diturunkan untuk menganalisis lahan dan membantu mengenalkan bibit unggul yang dapat dipanen hingga tiga sampai empat kali dalam setahun.
Mendukung pengolahan hasil panen yang efektif, efisien dan berdampak ekonomi, diputuskan untuk membangun pabrik penggilingan padi berbasis modern yang menggunakan mesin dengan teknologi ramah lingkungan, sehingga mampu mengurangi polusi.
Tiga tahun lamanya, tim CSR PT Adaro Indonesia mendampingi dan memfasilitasi warga Bagok untuk mewujudkan pembangunan pabrik penggilingan padi. Mulai dari persiapan lahan, desain kontruksi bangunan, pembelian mesin hingga bimbingan teknis peralatan.
Melalui program Bina Desa, kata Bahmi, perusahaan berkontribusi membantu meningkatkan produktivitas pertanian agar dapat membantu warga Bagok dalam memenuhi kebutuhan pangan serta meningkatkan perekonomian desa.
“Peningkatan perekonomian warga Bagok bukan hanya dari hasil pertanian, tetapi juga dari pengelolaan manajemen pabrik penggilingan padi,” katanya.
Sesuai AD/ART tentang pengelolaan pabrik penggilingan padi Mira Putut, hasilnya dibagi tiga, satu bagian untuk masyarakat dan dua bagian untuk BUMDes yang akan dialirkan untuk Dana Desa.
***
TIGA tahun Bina Desa berjalan di Bagok, bukan tanpa tantangan.
“Tantangan terbesar adalah mengajak dan meyakinkan masyarakat untuk berani mencoba hal baru, terutama dalam penggunaan peralatan pertanian yang berbeda dari yang biasa mereka gunakan,” ujar Pambakal Bagok, Risa Ramayati.
Bukan hal mudah untuk mengajak warga mencoba teknologi baru dan mengedukasi mereka tentang manfaat penggunaan alat pertanian yang lebih modern.
Petani di Bagok adalah masyarakat tradisional yang memegang teguh prinsip tentang memuliakan padi, sebagai pemberian Ibu Pertiwi yang harus dijaga. Paradigma tersebut juga menjadi tantangan tersendiri agar para petani di Bagok mau menjual padi.
Melalui perjuangan panjang tanpa kenal lelah, program Bina Desa kini membuahkan hasil.
“Pihak BUMDes selaku pengelola parbik penggilingan padi, selain mendapatkan upah dari menggiling padi petani, juga mendapatkan masukan dari hasil penjualan sekam,” kata Bahmi.
Kedepan, PT Adaro Indonesia merencanakan perluasan pemasaran hasil pertanian para petani Bagok untuk dijual kepada masyarakat umum. Dengan kualitas yang bagus dan kemasan yang menarik, diyakini beras dari Bagok akan mampu bersaing.
Melalui program Bina Desa, Bagok kini bersiap menjadi lumbung padi bagi Benua Lima dan bahkan untuk Barito Timur.
“Harapan kami, kedepan Bagok akan menjadi penyuplai beras untuk Ibu Kota Negara (IKN),” kata Risa Ramayati.
Sebuah harapan yang sangat mungkin terwuujud, mengingat potensi lahan yang luas dan didukung kepedulian dari CSR PT Adaro Indonesia serta kemauan para petani di Bagok untuk lebih maju, mandiri dan berdaya. (ra)