
BARABAI (TABIRKota) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel) melalui Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman (Perkim) setempat membahas sengketa tapal batas antara HST dan Kotabaru di forum The 46th Asian Conference on Remote Sensing (ACRS), di Makassar pada 31 Oktober lalu.
Bupati HST, Samsul Rizal melalui Kepala Dinas Perkim, dr Sa’dianoor mengatakan, pihaknya menyampaikan Analisis Survei dan Wawancara Lapangan terkait Penolakan Masyarakat Balai Adat Manggajaya terhadap batas administrasi antara HST-Kotabaru.
“Penelitian tersebut adalah buah pemikiran Bupati dan Wabup HST yang konsen untuk memperjuangkan hak ulayat masyarakat adat di Pegunungan Meratus,” katanya, di Barabai, Ibu Kota HST, Jum’at (14/11).
Penelitian tersebut, ujarnya, menggabungkan hasil survei lapangan GPS, wawancara tetua adat Meratus, analisis citra satelit multisumber (SPOT, Google Maps, DEM), seerta kajian sosial hak ulayat dan akses masyarakat adat.
“Secara spasial, temuan penelitiannya terdapat deliniasi batas tidak akurat, yakni penetapan batas 2021 lalu, tidak didasarkan pelacakan lapangan yang memadai, seperti survei GPS, pemeriksaan fisik (ground check), maupun validasi bentuk geografis di wilayah tersebut,” ujarnya.
Tim Penelusuran Batas Daerah (TPBD) HST telah melacak batas di daerah tersebut sejak 2005 lalu dan secara reguler melakukan pembinaan, pelacakan dan toponimi tercatat digital di blog https://tpbdhst.blogspot.com
Jika dibandingkan dengan kondisi topografi, khsusnya puncak gunung, hasil batas yang ditetapkan tidak sesuai dan tidak akurat jika di-overlay dengan data peta Digital Elevation Model (DEM) atau Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) dan geospasial lainnya,
Sa’dianoor menambahkan, penetapan batas juga tidak didukung toponimi lokal yang valid dan diakui masyarakat setempat, sebagaimana dipersyaratkan dalam Permendagri Nomor 141 tahun 2017 tentang penegasan batas daerah, sehingga potensi menciptakan kesalahan penafsiran ruang dan konflik sosial.
“Pemkab HST telah mengajukan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) kepada kementrian terkait untuk pembangunan akses jalan di Pegunungan Meratus agar pembangunan infrastruktur vital, khususnya jalan penghubung antar desa dan ke sekolah tetap berjalan,” tambahnya.
2021 lalu, kesepakatan batas tidak sesuai, HST kehilangan luasan wilayah lebih dari 19 ribu hektar dan rencana pembangunan infrastruktur vital jalan penghubung antar desa dan sekolah terancam gagal, karena wilayahnya terpotong jadi wilayah Kotabaru.
Penentuan dan penyelesaian batas wilayah bukan sekadar proses pemetaan teknis, melainkan isu multidimensi yang memerlukan keterlibatan pemimpin adat dan pengakuan substansial klaim tradisional masyarakat adat.
Peninjauan ulang batas wilayah HST-Kotabaru penting untuk dilakukan.
Penelitian tersebut juga memberikan catatan refleksi, yakni kebijakan batas kolaboratif meningkatkan akurasi pemetaan, pendekatan berbasis lapangan memastikan pengambilan keputusan sah, proses inklusif mendukung tata kelola spasial yang adil.
Kearifan lokal juga mendorong pengelolaan lahan berkelanjutan, transparansi memperkuat kepercayaan dan mengurangi konflik, serta kebijakan tata ruang menjunjung tinggi keadilan dan kesetaraan masyarakat.
Hasil penelitian tersebut dibahas mendalam oleh berbagai peneliti dan ahli penginderaan jauh lainnya dari berbagai negara yang menekankan perlunya pelacakan lapangan spasial dan pelibatan pemimpin adat dalam proses kesepakatannya. (fer)



