
RIAK air sungai mengalir di celah bebatuan, sebuah “lanting” atau rakit dari bambu melesat menyusuri Sungai Benawa, di Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel) membawa pisang di atasnya.
Datung (sebutan untuk orang tua dari datu, red) berdiri tegap di atas lanting sambil mengarungi sungai untuk pergi ke ladang menanam pisang.
Di tengah perjalanan, lantingnya “singgang” atau miring hampir terbalik, Datung merasa kebingungan tentang apa yang terjadi, sedangkan air sungai saat itu normal.

Tak lama timbul sosok naga, Datung terkejut tak tahu harus melakukan apa, setelah naga itu pergi, ia mengambil akar pisang yang besar dan mengukir akar tersebut menyerupai naga yang muncul itu.
“Setelah mengukir sosok naga, Datung kemudian pulang ke rumah dan pergi mencari batang pohon katapi atau kecapi untuk membuat “kapala andaru laki” atau kepala naga jantan yang mirip sosok yang ia lihat,” Radimansyah menceritakan.
Kapala andaru laki tersebut berusia kurang lebih 500 tahun yang hingga kini “diharagu” atau dirawat oleh Radimansyah akrab disapa Dalang Diman, selaku keturunan keenam yang terus menjaga warisan dari “padatuan” atau nenek moyangnya.

“Naga laki tersebut berwarna merah, namanya tidak boleh disebutkan karena disakralkan dan hanya garis keturunan yang diberi tahu,” ujarnya.
Puluhan tahun “maharagu” atau merawat kapala andaru laki itu, maka tepat Desember 2024 lalu, datang orang mengantarkan kapala andaru bini atau betina yang lebih muda satu generasi dari naga jantan merah di rumahnya.
“Keduanya laki dan bini, bukan berarti sepasang, namun setiap kepala naga ada yang jantan, ada juga yang betina,” kata Dalang Saputera, anak dari Dalang Diman.
Kepala andaru bini yang berwarna putih tersebut sudah beberapa kali dialih rawatkan, mulai dari Desa Rantau Kaminting, Padewaan, Banua Kupang dan terakhir berpindah tangan ke Dalang Saputera, di Desa Pantai Hambawang Timur, Kecamatan Labuan Amas Selatan (LAS) dengan kondisi tak terawat.
Dari tangan piawai Dalang Saputera, kepala andaru putih itu mulai dirawat dan diperbaiki penuh ketelitian dan hormat terhadap karya orang zaman dulu.
Lima bulan meminta petunjuk agar tidak menyalahi adat istiadat padatuan (leluhur, red), akhirnya perbaikan kepala andaru itu mulai dilakukan dalam waktu sebulan.
“Saya tidak nyangka, kepala andaru tersebut selesai dalam waktu sebulan, padahal perkiraan kurang lebih tiga bulan,” ujarnya.
Kini, di tempat Dalang Saputera ada dua kepala andaru, yakni merah dan putih untuk “diharagu” sebagai warisan turun-temurun dari “padatuan”.
Kapala andaru putih tersebut juga nantinya dapat dipakai untuk ba’arak naga atau arak-arakan pesta perkawinan, menunaikan hajat dan untuk kegiatan tradisi lainnya. (fer)