JAKARTA (TABIRkota) – Menteri perdagangan 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) untuk meminta pencabutan status tersangka dugaan korupsi impor gula.
Menurut Ketua Tim Penasihat Hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, melalui permohonan tersebut pihaknya meminta penetapan tersangka dan penahanan terhadap Tom Lembong dinyatakan tidak sah.
“Kami juga meminta agar klien kami (Tom Lembong, red) dibebaskan dari tahanan,” ujarnya di PN Jaksel, dilansir dari detik.com, Selasa (5/11).
Dasar permohonan pengajuan praperadilan, katanya, yaitu Tom Lembong tidak diberikan kesempatan menunjuk penasihat hukum pada saat ditetapkan sebagai tersangka.
“Lalu penetapan tersangka tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, yaitu minimal dua alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),” katanya.
Tim Penasihat Hukum menilai bukti yang digunakan Kejaksaan tidak memenuhi syarat yang ditentukan, sehingga penetapan tersangka menjadi cacat hukum.
Selain itu, Tim Penasihat Hukum menilai proses penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) bersifat sewenang-wenang dan tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku serta tidak ada hasil audit yang menyatakan kerugian negara akibat tindakan Tom Lembong.
Ia menambahkan, penahanan terhadap kliennya tidak sah karena tidak memenuhi syarat objektif dan subjektif serta tidak ada alasan yang cukup mengkhawatirkan bahwa Tom Lembong akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti.
“Tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain dan atau korporasi,” tambahnya.
Tim Penasihat hukum menilai jika tanpa bukti yang jelas, penetapan tersangka itu tidak hanya cacat hukum tetapi juga berpotensi merugikan reputasi Tom Lembong.
Pada 29 Oktober, Kejagung resmi menetapkan Tom Lembong beserta seorang direktur dari PT PPI sebagai tersangka dalam kasus korupsi impor gula.
Tindakan tersebut dinyatakan merugikan negara sekitar Rp400 miliar dengan proses impor yang tidak sesuai perundang-undangan dan tanpa rekomendasi dari kementerian terkait. (zr)